Menyoroti Ketimpangan Gender di Indonesia
Masalah kesetaraan gender masih terjadi secara global. Hal ini kemudian PBB merangkum ke dalam visi dunia yang dianut dalam Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Tujuan Pembangunan Berkelanjutan pada goals yang kelima adalah kesetaraan gender yaitu mencapai kesetaraan gender dan memberdayakan semua perempuan dan anak perempuan. Kesetaraan gender merupakan suatu kondisi dimana laki-laki dan perempuan setara dalam hak secara hukum dan kualitas hidupnya sama. Kesetaraan gender rmerupakan salah satu hak asasi setiap manusia. Gender yang menjadi pembeda dalam peran, atribut, sifat, sikap dan perilaku yang tumbuh dan berkembang di masyarakat.
Di negara berkembang, terkhusus di Indonesia masih terjadi berbagai permasalahan kesetaraan gender. Sebagian besar pandangan masyarakat Indonesia menganggap bahwa perempuan dipersepsikan dan ditempatkan semata-mata berfungsi reproduktif. Karena berfungsi reproduktif, perempuan dianggap hanya bisa berada di rumah untuk melanjutkan keturunan dengan melahirkan dan mengurus anak-anak yang dilahirkan. Parahnya, perempuan yang berada di rumah tugasnya mengerjakan semua pekerjaan rumah yang dianggap dan dikategorikan sebagai pekerjaan domestik dan sepenuhnya hanya bisa dilakukan oleh perempuan.
Fungsi reproduksi pada perempuan dalam hal melahirkan dan menyusui adalah sesuatu hal yang biologis. Namun, fungsi reproduksi tidak ada kaitannya dengan pekerjaan-pekerjaan rumah yang dikategorikan sebagai pekerjaan domestik. Jadilah timbul persepsi di masyarakat bahwa pekerjaan yang ada di rumah sama dengan fungsi reproduksi dan dianggap sebagai kewajiban perempuan untuk melakukan hal tersebut.
Selain dari hal tersebut, ketimpangan yang dialami perempuan adalah perempuan tidak perlu berpendidikan tinggi dari laki-laki. Masyarakat Indonesia berasumsi bahwa pendidikan yang diperoleh oleh perempuan tidak akan dipakai ketika sudah menikah. Perempuan yang telah menikah, pada akhirnya akan kembali ke dapur dan mengerjakan semua pekerjaan-pekerjaan yang bersifat feminis. Tak sedikit dari sekitar kita, orang tua melarang anak perempuannya untuk bersekolah tinggi dan menyuruh anaknya untuk langsung menikah.
Di kalangan masyarakat, perempuan yang memiliki pendidikan lebih tinggi dibandingkan dengan laki-laki, tentu biasanya memiliki pendapatan yang lebih tinggi. Hal inilah yang terjadi di kalangan masyarakat yang sebagian besar laki-laki timbul rasa kecemburuan. Padahal hal tersebut tak perlu menjadi permasalahan. Justru, harusnya menjadi suatu kebanggaan buat laki-laki yang memiliki perempuan karier yang bagus dan tidak merasa lebih rendah dibandingkan perempuan.
Perempuan juga dipersepsikan sebagai makhluk yang memiliki kelemahan, keterbatasan, tidak berpikir logis dan selalu menggunakan perasaan. Karenanya perempuan tidak layak untuk bekerja di sektor publik. Perempuan yang bekerja di publik, membangun karir dan berkompetisi dengan laki-laki adalah sesuatu hal yang dianggap melanggar kodrat. Hal ini tentu berkaitan dengan budaya dan yang mendominasi di masyarakat Indonesia yaitu patriarki.
Patriarki berasal dari kata patriarkat, berarti struktur yang menempatkan peran laki-laki sebagai penguasa tunggal, sentral, dan segala-galanya. Laki-laki memiliki peran sebagai kontrol utama di dalam masyarakat, sedangkan perempuan hanya memiliki sedikit pengaruh atau bisa dikatakan tidak memiliki hak dalam berbagai aspek kehidupan. Berbagai aspek kehidupan, baik agama dan kepercayaan maupun bernegara melegitimasi budaya dan ideologi patriarki di dalam masyarakat. Karena itu, banyak perempuan yang mempunyai posisi penting di dalam lingkungannya, tidak selalu mendapat apresiasi mengenai peran dan kemampuannya.
Kondisi tersebut tidak hanya menutup partisipasi perempuan di ruang publik, tetapi juga menimbulkan adanya diskriminasi terhadap perempuan. Diskriminasi yang dialami perempuan membuat hak-hak mereka terbatasi dalam mengeksplor dunia yang lebih luas. Diskriminasi terhadap perempuan merupakan faktor yang selama ini membuat perempuan terpuruk dengan berbagai masalah yang terpelihara. Penghapusan diskriminasi menjadi suatu keniscayaan, karena kehidupan yang berkeadilan untuk perempuan dan laki-laki dapat dicapai tanpa diskriminasi.
Perkawinan anak atau pernikahan anak merupakan salah satu bentuk kekerasan terhadap perempuan dan juga anak yang kemudian melahirkan bentuk kekerasan baru terhadap perempuan dan anak. Kekerasan tersebut akan berlangsung terus menerus dan dilestarikan sehingga menjadi sesuatu yang awam di mata masyarakat. Mengawinkan anak (<18 tahun) adalah tradisi yang sudah lama berlangsung di Indonesia. Tradisi ini tidak dapat dipertahankan.
Pasalnya, berbagai fakta dan data mengatakan bahwa, mengawinkan anak hanyalah menyiapkan lingkungan yang kurang baik bagi perkembangan perempuan dan anak-anak. Anak-anak dipaksa menjadi orang tua sejak dini, padahal mereka belum siap dari berbagai aspek manapun. Perkawinan anak yang merujuk pada menikah anak-anak di usia muda memiliki dampak negatif yang signifikan dalam beberapa aspek. Dampak negatif yang dialami anak yaitu terpaksa menghentikan pendidikan, aspek emosional dan psikologis anak yang belum matang, anak mengalami penyakit mental, risiko kematian saat melahirkan, dan timbul kesenjangan ekonomi.
Kekerasan seksual terhadap perempuan adalah kejahatan terhadap
perempuan yang paling buruk dan terus berlangsung. Kekerasan seksual
terhadap perempuan, bukan hanya karena perempuan menyandang jenis
kelamin sebagai perempuan, tetapi juga terkait dengan relasi gender
perempuan dan laki-laki yang tidak lepas dari relasi kuasa. Pemerkosaan terhadap perempuan tidak sekadar pemuasan syahwat
seksual, tetapi juga untuk penghinaan, intimidasi, bahkan untuk tindakan
rasialis kepada kelompok atau etnik tertentu. Kekerasan seksual selalu menjadi
bagian dari konflik dan peperangan, karena kekerasan seksual digunakan
untuk menghina, mengintimidasi, dan menjatuhkan mental lawan.
Para akademisi dan penegak hukum harus mengkaji dan melihat
kekerasan seksual dari perspektif Hak Asasi Manusia (HAM), gender, dan
korban. Kekerasan seksual tidak bisa hanya dilihat dari sudut kejahatan
semata, tetapi perspektif yang lebih luas yang menjangkau sudut yang selama
ini tidak bisa dijangkau oleh perspektif dan aturan hukum konvesional. Para pemikir dan penegak hukum progresif sudah sangat maju dalam
mengkaji dan menegakkan hukum. Namun, hukum yang berpihak pada hak
asasi dan melindungi perempuan masih sangat jauh. Instrumen hukum
nasional terlampau lambat mengadopsi dan mengatur hak asasi dan
perlindungan perempuan, termasuk aturan-aturan mengenai kekerasan
seksual terhadap perempuan dan anak.
Selama ini orang selalu keliru memahami gender dan masalah
perempuan. Gender yang merupakan sifat yang melekat pada kaum laki-laki
maupun perempuan dan dikonstruksikan secara sosial maupun kultural,
dianggap sebagai perempuan. Demikian juga masalah perempuan dianggap
sebagai urusan perempuan, sehingga harus diurus dan diselesaikan oleh
perempuan. Karena itu, gender dan perempuan dianggap sebagai masalah
perempuan, sehingga hanya merupakan urusan perempuan. Aktivis ataupun
mereka yang terlibat dan peduli isu gender dan masalah perempuan pun
mayoritas perempuan. Tentu tidak salah, ketika mereka yang berkutat pada isu
gender dan peduli perempuan dan anak umumnya adalah perempuan. Karena
mereka yang selama ini mengalami diskriminasi dan penindasan berdasarkan
jenis kelamin.
Cara berpikir laki-laki atau patriarki terdapat di dalam kepala laki-laki dan
perempuan, karena itu isu gender dan masalah perempuan adalah masalah
kedua jenis kelamin tersebut. Namun hanya sedikit sekali laki-laki yang terlibat dalam isu-isu gender
dan masalah-masalah perempuan. Jumlah laki-laki yang terlibat dalam kajian
kajian mengenai gender dan perempuan sangat terbatas. Penulis dan jurnalis yang menulis gender dan perempuan pun bisa dihitung dengan jari. Apalagi
laki-laki yang terlibat dalam advokasi gender dan perempuan, tentu lebih
sedikit lagi.
Di samping pemahaman, banyak laki-laki yang mengambil keuntungan
dari kehidupan yang tidak adil. Sebagian laki-laki berusaha untuk
mempertahankan situasi yang tidak adil dan diskriminatif itu dengan berbagai
cara, termasuk dengan menggunakan hukum negara dan pernafsiran terhadap
dalil-dalil agama. Oleh karena itu, peran pemerintah sangat dibutuhkan untuk memperkuat aturan terkait ketimpangan gender yang terjadi serta menghukum pelaku-pelaku yang terlibat dalam kasus ketimpangan gender. Begitu juga pentingnya masyarakat khususnya laki-laki untuk memahami lebih dalam terkait kesetaraan gender, mulai menyadari budaya patriarki yang berkembang di masyarakat kita sebaiknya tidak berkembang lagi di lingkungan kita dan partisipasi kita sangat diperlukan dalam mengedukasi masyarakat.
Comments
Post a Comment